Sabtu, 14 Januari 2012

Asli Wong SAMBIRESIK

Asal-Usul Mbah Sambiresik & Riwayat.
Tersebutlah seorang Sunan perempuan bernama Raden Ayu Sekar Kedaton (Raden Ayu Kalinyamat binti Joko Tingkir) meninggalkan Singgasananya. Demikian awal kisah seperti yang dituturkan oleh Yai Bulchin (KH. Abdul Aziz, 82 tahun, Kedundung Mojokerto 26 Mei 1987). Dengan mengendarai seekor gajah putih sampai lah beliau di suatu rawa yang bernama “Rowo Suro”. Dari asal-usul inilah di kemudian hari kerajaannya dinamakan “SUROKARTO”. Sampai di sini riwayat berdirinya Keraton Surokarto atau Mataram.
Kerajaan Mataram terus berlangsung, yang kemudian tiba pada kurun waktu pemerintahannya Sunan Prabu atau Sunan Amangkurat IV. Di dalam keluarga Keraton terdapat seorang anggota keluarga yang bernama KH. ABDUR ROHMAN putra Pangeran Hadi Kusumo atau cucu Amangkurat I, atau misanan Sunan Prabu, juga misanan Sunan Mas (Amangkurat III). Abdur Rohman muda pernah lelaku riyadloh selama 8 tahun di gunung Imogiri, sehingga mendapat sebutan Sultan Bangun Tapa. Antara Sunan Prabu dan KH. Abdur Rohman selalu terjadi perselisihan, yang disebabkan oleh condongnya Sunan Prabu kepada V.O.C. (Perserikatan Dagang Belanda) yang ditentang oleh KH. Abdur Rohman. Ketika Sunan Prabu menetapkan penanggalan Masehi sebagai kalender resmi Kerajaan dan KH. Abdur Rohman menghendaki penanggalan Hijriyah, maka beliau KH. Abdur Rohman memutuskan untuk menghilang dari keluarga Keraton Mataram. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1720an.
Sampai 2 tahun KH. Abdur Rohman tidak pernah ditemukan, padahal Sunan Prabu sudah memerintahkan para Ronggo untuk berusaha mencarinya sampai ke daerah Banyuwangi. Setelah itu Sunan mendengar berita bahwa di daerah Bangak Wonotoro Solo, muncul nama seorang Ulama’ KH. Abdur Rohman dengan pesantrennya yang mulai besar. Sunan mengirimkan utusan ke pesantren tersebut. Untuk memastikan apakah benar Ulama’ itu adalah KH. Abdur Rohman saudaranya Sunan sendiri, dan ternyata benar. Sunan kemudian memerintahkan para Ronggo supaya tidak mengganggu Pesantren tersebut. Sang Kyai sendiri yang melaksanakan babat alas pete, sehingga beliau mendapat sebutan Ki Ageng Wonotoro, ( Tempat itu sekarang bernama Dsn. Wonotoro, Ds. Catur, Kec. Sambi, Kab. Boyolali, Jawa Tengah, berdekatan dengan Ds. Bangak, Kec. Banyudono, Kab. Boyolali, dan perlu ditegaskan bahwa periwayatan ini adalah bukan yang dimaksudkan dengan nama Ki Ageng Wonontoro atau Ki Ageng Wonokusumo yang makamnya di Dusun Wonontoro, Ds. Jatiayu, Kec. Karangmojo, Kab. Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta ).Beberapa lama kemudian Sunan dipengaruhi juga oleh Belanda, supaya menyingkirkan Sang Kiyai di Wonotoro itu, dengan alasan supaya tidak muncul kekuatan baru yang akan meruntuhkan Mataram. Sunan menyetujui dan mengijinkan Belanda untuk membunuh KH. Abdur Rohman. Lalu berangkatlah satu pasukan Tentara Belanda menyerang Pesantren Wonotoro, dan terjadilah pertempuran yang ke I. KH. Abdur Rohman dan para santrinya mempertahankan diri dengan mengerahkan batu-batu Gunung Merbabu dengan kekuatan tenaga batin. Hampir semua Tentara Belanda tewas, dan sisanya mundur dari Pesantren Wonotoro. Selanjutnya terjadi pertempuran yang ke II, dan kali ini pasukan Belanda semuanya habis, karena Kiyai mengerahkan para santrinya yang dibantu dengan kekuatan api Gunung Merapi. Kejadian ini membuat para pemimpin V.O.C. panik. Pasukan Wonotoro tidak dapat dihadapi dengan kekuatan dan mungkin harus dihadapi dengan taktik atau kelicikan tipu daya. Pada pertempuran yang ke III, pasukan Belanda tidak menyerang Pesantren Wonotoro, tetapi menyerang Desa Magersari (Tempat itu sekarang bernama Ds. Tempursari, Kec. Sambi, Kab. Boyolali, Jawa Tengah) yang berdekatan dengan Pesantren Wonotoro, dan menghajar penduduk yang tidak bersalah. Tanpa sepengetahuan KH. Abdur Rohman, hangus dan hancurlah Desa Magersari, dan hancurlah perasaan KH. Abdur Rohman setelah mendengarnya. Sang Kiyai kemudian memutuskan untuk menghadap sendiri kepada salah seorang Jenderal V.O.C. untuk berunding, dan mengatakan apa yang sebenarnya dikehendaki Belanda. Jawabannya ialah V.O.C. menghendaki kematian Sang Kiyai. Maka Kiyai merelakan kematian dirinya, asal penduduk yang tidak bersalah tidak dibinasakan, juga V.O.C. harus berjanji tidak membinasakan anak keturunan KH. Abdur Rohman. Sang Jenderal kemudian berjanji, sambil menanyakan bagaimana caranya untuk dapat membunuh Kiyai. Sang Kiyai mengatakan bahwa Belanda hanya dapat membunuhnya, bila beliau sedang berada di dalam Masjid dan sedang Sholat, dengan cara mengambil Pusaka yang terselip di badannya dan ditikamkan.
Pada pagi hari ketika Kiyai sedang Sholat di dalam Masjid (masjid itu sekarang bernama Masjid Wonokusumo, Dsn. Wonotoro, Ds. Catur, Kec. Sambi, Kab. Boyolali, Jawa Tengah) masuklah seorang tentara Belanda yang akan membunuh Kiyai. Karena tentara Belanda tersebut masuk dengan bersepatu, maka tiba-tiba jatuh pingsan. Setelah sadar tentara Belanda itu masuk Masjid tetap dengan bersepatu lagi, dan jatuh pingsan lagi. Setelah sadar kedua kalinya tentara Belanda tersebut memutar otak, yang kemudian teringat kebiasaan Tata Cara Orang Islam bila memasuki Masjid. Sang tentara Belanda ternyata bisa mengucapkan kalimat Syahadat dan mengambil air wudlu’ secara Islam, kemudian ia masuk ke dalam Masjid dengan tidak bersepatu, dan berhasillah mendekati Sang Kiyai yang sedang terus Sholat itu. Pusaka cundrik yang terselip di badan Kiyai dapat diambilnya lalu ditikamkan, maka wafatlah Sang Kiyai.Sunan Prabu di Mataram memerintahkan supaya jasad KH. Abdur Rohman dimakamkan di tempat pesantrennya, di Bangak Wonotoro Solo (tempat itu sekarang adalah Dsn. Wonotoro, Ds. Catur,Kec. Sambi, Kab. Boyolali, Jawa Tengah). Setelah V.O.C. mengakhiri riwayat Sang Kiyai, ternyata V.O.C. tidak menepati janjinya. Putra Sang Kiyai yang bernama Wijil Afandi ketika itu baru saja pulang dari menggembala kambing, dan mengetahui di rumahnya sedang ribut. Belum sampai mengetahui apa yang sedang terjadi, tiba-tiba Wijil Afandi diserang oleh tentara-tentara V.O.C. yang akan membunuhnya juga. Wijil Afandi lari ke arah timur, dan dari sini dimulailah kisah baru, yaitu kisahnya Wijil Afandi.
Wijil Afandi sudah mengetahui bahwa Romonya dibunuh Belanda. Para Santri mengatakan supaya ia menyelamatkan diri. Seorang diri Wijil Afandi terus saja lari ke arah timur dan sampailah di Kota Magetan, dan terus ke timur lagi. Di sebelah timur Magetan Wijil Afandi hampir saja tertangkap oleh Belanda. Dia dikepung dan digerebek di tempat suatu pekuburan. Masuklah Wijil Afandi ke dalam sebuah kuburan yang berlobang dan bersembunyi di dalamnya selama 7 hari. Karena Belanda tidak berhasil menemukannya, maka mereka meninggalkan tempat itu, dan terus mencari di tempat lain. Setelah keadaannya sepi, Wijil Afandi keluar dari kuburan dan meneruskan perjalanan ke timur arahnya melewati Gunung Lawu, dari sini perjalanannya kemudian diikuti seekor macan putih. Bersama macan putih Wijil Afandi sampai di daerah Kediri pada suatu tempat yang bernama WONOKESAMBI
Setelah selesai tiga tahun bertapa di Wono Kesambi. Wijil Afandi meneruskan perjalanan dengan menggunakan perahu getek yang dirakitnya sendiri. Sesuai perintah wangsit yang diterimanya dalam riyadloh. Perjalanan dimulai dari bengawan di Kediri (Kali Brantas). Dia berniat apabila perahunya nanti kandas selama 40 hari, maka disitulah ia harus turun. Wijil Afandi mulai ”ngintir kali” dengan perahunya, dan berlama-lama di atas air siang dan malam, sampai kemudian kandas di Kedungsoro Gedeg Mojokerto, (tempat itu sekarang bernama Ds. Terusan, Kec. Gedeg, Kab. Mojokerto, pada titik pertemuan antara Kali Brangkal dengan Bengawan Brantas, berhadapan sebelah barat Jembatan Lespadangan utaranya alun-alun Kota Mojokerto). Ternyata setelah 7 hari perahu Wijil Afandi hanyut lagi, karena disundhul bajul putih, yang akhirnya memasuki tempat yang berrawa-rawa yang mempunyai sebutan deso Rowo Kasepuhan, yang tepatnya daerah itu sekarang bernama Dsn. Tebuseren, Ds. Dukuhsari, Kec. Jabon, Kab. Sidoarjo, Jawa Timur). Sampai 40 hari perahu tetap kandas dan tidak hanyut lagi, yang berarti Wijil Afandi harus turun dari perahunya.
Wijil Afandi kemudian “ngenger” kepada seorang Mbok Rondo Kedungcangkring (sekarang bernama Tebuseren). Wijil Afandi kemudian dikhitankan, dan setelah cukup dewasa dikawinkan sampai punya anak satu. Setelah punya anak satu Wijil Afandi dipondokkan kepada Raden Kiyai Imam Besari, Gebangtinatar Tegalsari Ponorogo (sekarang dikenal dengan nama Pondok Tegalsari di Ds. Tegalsari, Kec. Jetis, Kab. Ponorogo, diapit Sungai Keyang dan Sungai Malo) (K.Imam Besari wafat tahun 1813, dan adalah seorang muridnya KH. Abdur Rohman Mataram). Wijil Afandi mondok selama 8 tahun, dan selama itu bukannya diajari mengaji, tetapi disuruh momong putra Kiyai dan membawakan kitab Sang Kiyai apabila akan ke mimbar. Selama delapan tahun Wijil Afandi momong sampai berganti putra empat. Setelah selesai delapan tahun Wijil Afandi dipanggil oleh Kiyainya, untuk dimandisucikan, lalu diberi semua kitab Sang Kiyai dan diajari awalnya saja, setelah itu disuruh pulang ke Tebuseren, dan disertakan kepadanya 500 orang Santri yang terdiri dari manusia dan jin. Dan disuruh membuat Masjid dalam waktu satu hari, dan jadilah Masjid dalam waktu satu hari.
Akhirnya daerah yang semula rawa-rawa itu menjadilah sebuah Pesantren yang besar dengan Masjidnya yang terbuat dari “SIRAP” yang sekitarnya ditanami tebu yang “SEREN-SEREN” (panjang) sehingga dapat dilingkarkan kesekeliling Masjid. Dari tempat demikianlah kemudian Adipati Suroboyo menamakan desa Tebuseren. Sedangkan Wijil Afandi sendiri disebut oleh para santrinya dengan nama Mbah Sambiresik karena pernah bertapa di Wono Kesambi yang Resik. Kemudian di sini Mbah Sambiresik atau Mbah Ahmad atau Mbah Wijil Afandi atau Mbah Tebuseren melanjutkan keturunannya. Anak Mbah Sambiresik berjumlah 15 orang, yang kebanyakannya perempuan, yang keturunannya menyebar di daerah Jawa Timur, yang terutama di daerah-daerah Sidoarjo, Mojokerto, Mojosari, Jombang, Kediri, Malang, Pasuruan, Probolinggo, Surabaya, Gresik, Lamongan, Tuban, juga ada yang kembali ke daerah Solo.
Makam Mbah Sambiresik berada di belakang Masjid Tebuseren, dan Masjid tersebut sekarang bernama Masjid “SAMBI NURUL HUDA”, Dusun Tebuseren Desa Dukuhsari Kec. Jabon Kab. Sidoarjo Jawa Timur.
Khaul Mbah Sambiresik selalu diperingati setiap tahun pada tanggal 15 Asyuro, yang diselenggarakan oleh para tokoh keluarga keturunan Mbah Sambiresik, para tokoh masyarakat setempat, dan para Pamong Desa. Kunjungan ke makam Mbah Sambiresik juga kunjungan acara Khaulnya berdatangan dari berbagai daerah, dan mereka pada umumnya mengaku sebagai keturunannya Mbah Sambiresik

Keterangan :
Mbah Sambiresik merupakan salah satu dari sejumlah figur Islam Santri yang eksodus ke Jawa Timur, karena terdesak oleh hegemoni Islam Abangan yang mendominasi kekuasaan Mataram yang didukung oleh penjajah Belanda pada masanya

Surabaya